Oleh : Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
Padang Ekspres • Jumat, 14/06/2013
KALI pertama melihatnya, saya langsung jatuh hati. Dia seorang ibu yang lumpuh. Menurut reporter SCTV yang menurunkan laporan dalam Liputan 6, Een praktis hanya mampu menggerakkan mata dan mulutnya. Tetapi, selumpuh itu, dia tetap mengajar dari kamar tidurnya. Anak-anak usia sekolah dasar silih berganti berdatangan. Bukan untuk merawatnya, melainkan belajar macam-macam pengetahuan. Ya bahasa Indonesia, geografi, ilmu pengetahuan alam, dan matematika.
Di kamarnya ada peta Indonesia yang terpampang di dinding. Dari situ, anak-anak belajar memahami Indonesia. Tetapi, sebelum belajar, Een selalu punya sesuatu untuk anak-anak. Entah itu rujak buah-buahan yang bisa mereka buat sendiri di dapur, entah masakan lainnya.
Itu saja sudah mampu membuat anak-anak merasa berada di rumah sendiri. Padahal, Een tidak punya penghasilan apa-apa dan anak-anak itu tidak dipungut biaya belajar.
Gurunya mengajar sukarela dan anak-anaknya datang sukarela. Tetapi aneh, keduanya bisa sama-sama hidup, sama-sama berprestasi. Sebab, Een tidak memerlukan apa-apa. Tidak perlu perhiasan, mobil, ponsel, apalagi kamera. Dia hanya butuh harapan, dan harapan itu ada pada anak-anak yang berhasil.
Masyarakat Merawat
Anda mungkin pernah mendengar jokes tentang seorang ibu Yahudi di negeri Belanda yang memberikan petunjuk kepada anaknya yang akan datang bersama istrinya. “Cari apartemen 1308, tekan bel pakai sikutmu, gunakan sikutmu untuk tekan tombol ke lantai 8, lalu belok kanan, ketok pintu pakai sikut.”
Si anak mengerti petunjuk itu. Namun, dia balas bertanya, “Aku mengerti Ma, tetapi mengapa Mama dari tadi bilang gunakan sikutmu?” “Apa?” jawab si ibu. “Jadi, kamu datang dengan tangan kosong?” ujarnya.
Joke itu biasa diucapkan orang-orang Indonesia di Eropa melihat hubungan keluarga yang telah berubah menjadi serba transaksional. Pantas bila orangtua akhirnya hidup kesepian di panti-panti jompo tanpa ada keturunannya yang menengok.
Di Jepang, ikatan keluarga juga memudar karena orangtua sibuk bekerja seharian agar bisa membayar sewa rumah dan segala utang. Akibatnya, pada hari tuanya, mereka kesepian. Anak-anak jalan sendiri-sendiri. Negara kaya tidak menjamin ikatan sosial dan kebahagiaan bisa sejalan. Saya sendiri berharap hubungan kekeluargaan yang hangat tidak sepenuhnya digantikan oleh mekanisme pasar, di sini.
Di sisi lain, dunia layar kaca, khususnya televisi, bisa punya peran penting untuk membangun ikatan sosial di sini. Setelah bertahun-tahun habis digunakan untuk memamerkan aneka konflik, politik, dan korupsi, televisi ternyata dapat digunakan untuk merekatkan ikatan-ikatan sosial. Een bisa menjadi aktor perubahan dalam peradaban kamera ini.
Setelah ditemukan reporter TV dan diberi Liputan 6 Award dua minggu lalu, Een mendapat efek camera branding. Dalam tim juri, kami mengusulkan Een mendapat penghargaan khusus. Sebab branding-nya ada dalam tiga kategori: pendidikan, kemanusiaan, dan pengabdian masyarakat.
Apa yang dilakukan Een membuat semua penonton terharu. Apalagi, award itu diserahkan Ketua Umum PMI Jusuf Kalla (JK). Di situ terdengar suaranya yang jernih. Dari penjurian itu, saya diberi tahu, Een mempunyai keinginan bertemu presiden. Saya lalu mengirim pesan melalui staf khusus presiden Prof Firmanzah sekiranya presiden berkenan. Ternyata, sekembali presiden dari Amerika, Een sudah diagendakan bertemu SBY di istana. Dia terlihat gembira.
Dia bahkan diajak presiden berkeliling istana. Karya Een sungguh menggugah hati. Dia adalah pejuang, a role model. Kemarin saya lihat di surat kabar, efek camera branding itu meluas. Een diberi award dari almamaternya: UPI, plus kecupan di kening dari musisi Bimbo serta beberapa lagu khusus dari musisi Ebiet G. Ade.
Salah satu videonya yang menggugah bisa kita lihat di link berikut ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar